ss_blog_claim=6853e64dae9fcd8425790b711998bf08

Amazing Fire Illusion

SP: KPK vs Polri, Politisasi Hukum?  

Senin, 16 November 2009

Proses hukum memang kudu berlangsung secara khusuk: hakim, dan seluruh judiciary perlu ketenangan untuk menimbang masaalahnya dengan matang.


Tapi masaalahnya di Indonesia polisi dan kejaksaan sudah begitu busuk hingga yang namanya pengadilan itu sudah menjadi lembaga ketidak adilan.

Saya juga dari semula bertanya-tanya, apa tidak ada jalan lain untuk membersihkan polisi dan kejaksaan dari kenistaan, tapi tidak menemukan jawabnya.
Susah, sungguh susah untuk tidak membawa masaalahnya kemuka umum
Susah, sungguh susah untuk tidak "menggelar proses penegakan hukum" ketengah masyarakat.


Namun demikian, pendapat orang ini tetap perlu didengarkan..


ZOOM2009-11-16
KPK vs Polri, Politisasi Hukum?


Oleh : Indriyanto Seno Adji , Guru Besar Fakultas Hukum UI

Polemik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri semakin meluas tanpa arah acuan hukum yang jelas. Dari soal sangkaan pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, pembukaan rekaman di Mahkamah Konstitusi (MK), dengar pendapat Polri dan Kejaksaan di DPR, bahkan pembentukan Tim Pencari Fakta (Tim 8), dan skandal Bank Century, yang kesemuanya memberikan pendapat hukum terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Lebih ekstrem lagi, Tim 8 maupun MK, selaku personal, membuat pendapat hukum tentang lemahnya pembuktian untuk dapat tidaknya kasus ini diajukan ke pengadilan, pencopotan Jaksa Agung dan Kapolri yang ternyata Tim 8 belum bekerja saat itu. Garis ini menimbulkan kesan buruk bagi reformasi hukum di Indonesia.

Politisasi hukum memberikan kesan stigma terhadap kehendak adanya supremacy of law. Padahal, supremasi hukum merupakan arah kehendak semua negara secara universal, tidak terkecuali Indonesia. Makna "reformasi" yang seharusnya memiliki konotasi positif, tetapi bila dan telah digunakan untuk kepentingan tertentu sebagai kedok politik, akan bermakna yang negatif. Demikian pula makna reformasi hukum yang seharusnya diartikan sebagai pembaruan hukum dengan mengedepankan hukum sebagai panglima dan persamaan di hadapan hukum, tanpa kecuali.

Mengingat prinsip mendasar rule of law, suatu supremacy of law, negara hukum dari Dicey adalah demokratis sifatnya, maka pandangan dia selalu menjadi acuan bagi negara hukum yang demokratis seperti Indonesia ini. Ada tiga karakter negara hukum, yaitu (a) pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang mengandung perlakuan sama di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan, (b) legalitas dalam arti hukum dengan segala bentuknya, dan (c) penghargaan terhadap suatu due process of law, suatu peradilan bebas, tidak memihak, dan lepas dari pengaruh tekanan kekuasaan dalam bentuk apa pun. Pada kasus Bibit-Chandra, semua prinsip supremasi hukum ini telah ditinggalkan justru dengan memberikan justifikasi adanya pemahaman prinsip keadilan yang menyimpang. Karakter hilangnya prinsip due process of law terurai lebih lanjut.

Pertama, pelaksanaan penegakan hukum yang melibatkan penegak hukum haruslah diartikan sebagai prosedur wajar di hadapan hukum karena prinsip equal before the law berlaku bagi KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Apabila rule of law sebagai pijakan primaritas negara, tentunya segala prosedural hukum dalam konteks perkara (pidana) harus lepas dari ikatan atau kepentingan politik. Suatu perkara pidana yang sudah sarat dengan muatan politik akan meninggalkan makna supremasi hukum itu sendiri. Dan inilah yang terjadi pada proses penanganan perkara pidana dugaan penyalahgunaan wewenang (suap, pemerasan) pimpinan KPK.

Proses penyidikan oleh Polri dianggap sebagai rivalitas kelembagaan, padahal kesemua ini memiliki intensitas masalah berbeda . Pengamat hukum (pidana dan nonpidana) dan politik pun memberikan warna argumen hukum yang justru tercipta opini dan stigma penegakan hukum, sehingga membuat kebingungan publik antara eforia dan phobia penegakan hukum menjadi rancu dan bias.

Kedua, terjadinya minimalisasi penghargaan prinsip legalitas. Seharusnya dipahami penegak dan pengamat hukum. Bila ada keraguan terhadap pembuktian dan kurangnya alat bukti, harus ada perasaan besar hati untuk menghentikan penyidikan/penuntutan sesuai prinsip praduga tak bersalah. Namun bila ada keyakinan keutuhan alat bukti harus berpegang prinsip speedy trial ke pengadilan agar tidak melanggar hak-hak asasi Bibit-Chandra. Proses kembali ulangnya berkas adalah parameter redusi terhadap prinsip legalitas hak asasi Bibit-Chandra.


Peradilan Jalanan

Ketiga, dengan berlindung di balik asas keadilan masyarakat, lembaga yudikatif, seperti MK maupun legislatif (DPR), pula ada Tim Pencari Fakta (Tim 8) berlomba-lomba mencari simpati masyarakat dengan menggelar proses penegakan hukum yang menjadi ranah yudikatif. Lebih ekstrem lagi, lembaga yudikatif (MK) maupun Tim 8, layaknya hakim keadilan, mengeluarkan pernyataan dan opini sebelum ada hasil akhir dari mekanisme due process of law. Para pengamat hukum seolah buta hukum dan pengamat politik seolah representasi dan jargon hukum, sehingga jadilah semacam prapenghakiman dengan pembentukan opini sepihak, berpihak dan negatif yang justru menimbulkan kesan obstruction of justice dari lembaga dan tim tersebut. Inilah yang dinamakan street justice (peradilan jalanan) yang tidak edukatif. Seharusnya court justice (peradilan di pengadilan) menjadi legalitas kita semua.

Kepentingan politik mewarnai penegakan hukum secara buruk, yang anehnya justru dilakukan oleh pejabat negara, pengamat hukum, politik dan sosial yang akibatnya menimbulkan kerancuan yang sangat bias bagi masyarakat, sehingga sulit menemukan diferensial antara pendapat dari pengamat serta pejabat yang profesional dan stigma provokator. Pembentukan opini terhadap suatu proses hukum yang berjalan tentunya menimbulkan pandangan hukum yang permisif, seolah KPK sebagai lembaga imunitas dari penegakan hukum dan jauh dari penyelewengan hukum, sebaliknya Polri sebagai lembaga yang lemah dalam penegakan hukum.

Proses yang wajar dari penyidikan seharusnya tidak dilakukan dengan intervensi, baik dalam bentuk pembangunan opini maupun tangan kekuasaan, yang langsung maupun tidak langsung, akan mempengaruhi proses hukum. Suatu usaha untuk mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan proses hukum merupakan sub judice rule yang dapat menggoyahkan prinsip penegakan hukum itu sendiri. Lembaga yudikatif, MK, memang atas dasar interest of justice dapat memerintahkan pembukaan rekaman.

Meskipun, menurut saya, isi substansi rekaman tidak berkaitan secara langsung dengan masalah pemberhentian tetap Bibit-Chandra yang dipandang inkonstitusional.

Pula, tidaklah pada tempatnya sosok personal MK memberikan pendapat hukum terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Hal serupa juga dilakukan oleh Tim 8 yang telah memberikan pendapat sebelum bekerja, saat bekerja, dan belum ada finalisasi dalam pemberian rekomendasi kepada Presiden. Presiden tidak memiliki kewenangan diberhentikan atau dilanjutkannya proses hukum yang sedang berjalan, termasuk kasus Bibit-Chandra.

Dari kajian sosio-yuridis, gangguan optimal independensi penegak hukum justru dari kalangan internal kekuasaan maupun pihak yang memiliki vested-interest terselubung. Bahkan gangguan, serangan dan intervensi terhadap institusi penegak hukum dikemas dalam bentuk independensi semu, seperti pembentukan tim independen yang justru menyiratkan adanya usaha yang secara tidak langsung mempengaruhi penegak hukum . Kesemua ini dinamakan sub judice rule, suatu usaha untuk mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan proses hukum, yang tentunya dapat menggoyahkan prinsip keadilan dan penegakan hukum itu sendiri.

Bila dicermati, proses penegakan hukum dalam kasus Bibit-Chandra ini telah dilakukan secara profesional oleh Polri, Kejaksaan dan KPK sebagai integrated institution, namun stigma pembentukan opini yang rancu inilah yang merusak sistem penegakan hukum dengan segala argumentasi yang selayaknya menjadi ranah peradilan. Tanpa kesabaran terhadap proses hukum, pengamat dan pejabat telah menciptakan politisasi hukum, sehingga ucapan Prof Dr Dimyati Hartono, makna politics are to be adopted by the laws, not laws to the politics hanyalah gerakan simbolik dari cadar reformasi hukum di Indonesia.

KPK, Polri, dan Kejaksaan bersatulah. Bangkitlah penegak hukum melawan provokator dan koruptor ! *


---------------

Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

AddThis Social Bookmark Button
Email this post


Contact me, martant21