ss_blog_claim=6853e64dae9fcd8425790b711998bf08

Amazing Fire Illusion

SP: KPK vs Polri, Politisasi Hukum?  

Senin, 16 November 2009

Proses hukum memang kudu berlangsung secara khusuk: hakim, dan seluruh judiciary perlu ketenangan untuk menimbang masaalahnya dengan matang.


Tapi masaalahnya di Indonesia polisi dan kejaksaan sudah begitu busuk hingga yang namanya pengadilan itu sudah menjadi lembaga ketidak adilan.

Saya juga dari semula bertanya-tanya, apa tidak ada jalan lain untuk membersihkan polisi dan kejaksaan dari kenistaan, tapi tidak menemukan jawabnya.
Susah, sungguh susah untuk tidak membawa masaalahnya kemuka umum
Susah, sungguh susah untuk tidak "menggelar proses penegakan hukum" ketengah masyarakat.


Namun demikian, pendapat orang ini tetap perlu didengarkan..


ZOOM2009-11-16
KPK vs Polri, Politisasi Hukum?


Oleh : Indriyanto Seno Adji , Guru Besar Fakultas Hukum UI

Polemik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri semakin meluas tanpa arah acuan hukum yang jelas. Dari soal sangkaan pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, pembukaan rekaman di Mahkamah Konstitusi (MK), dengar pendapat Polri dan Kejaksaan di DPR, bahkan pembentukan Tim Pencari Fakta (Tim 8), dan skandal Bank Century, yang kesemuanya memberikan pendapat hukum terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Lebih ekstrem lagi, Tim 8 maupun MK, selaku personal, membuat pendapat hukum tentang lemahnya pembuktian untuk dapat tidaknya kasus ini diajukan ke pengadilan, pencopotan Jaksa Agung dan Kapolri yang ternyata Tim 8 belum bekerja saat itu. Garis ini menimbulkan kesan buruk bagi reformasi hukum di Indonesia.

Politisasi hukum memberikan kesan stigma terhadap kehendak adanya supremacy of law. Padahal, supremasi hukum merupakan arah kehendak semua negara secara universal, tidak terkecuali Indonesia. Makna "reformasi" yang seharusnya memiliki konotasi positif, tetapi bila dan telah digunakan untuk kepentingan tertentu sebagai kedok politik, akan bermakna yang negatif. Demikian pula makna reformasi hukum yang seharusnya diartikan sebagai pembaruan hukum dengan mengedepankan hukum sebagai panglima dan persamaan di hadapan hukum, tanpa kecuali.

Mengingat prinsip mendasar rule of law, suatu supremacy of law, negara hukum dari Dicey adalah demokratis sifatnya, maka pandangan dia selalu menjadi acuan bagi negara hukum yang demokratis seperti Indonesia ini. Ada tiga karakter negara hukum, yaitu (a) pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang mengandung perlakuan sama di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan, (b) legalitas dalam arti hukum dengan segala bentuknya, dan (c) penghargaan terhadap suatu due process of law, suatu peradilan bebas, tidak memihak, dan lepas dari pengaruh tekanan kekuasaan dalam bentuk apa pun. Pada kasus Bibit-Chandra, semua prinsip supremasi hukum ini telah ditinggalkan justru dengan memberikan justifikasi adanya pemahaman prinsip keadilan yang menyimpang. Karakter hilangnya prinsip due process of law terurai lebih lanjut.

Pertama, pelaksanaan penegakan hukum yang melibatkan penegak hukum haruslah diartikan sebagai prosedur wajar di hadapan hukum karena prinsip equal before the law berlaku bagi KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Apabila rule of law sebagai pijakan primaritas negara, tentunya segala prosedural hukum dalam konteks perkara (pidana) harus lepas dari ikatan atau kepentingan politik. Suatu perkara pidana yang sudah sarat dengan muatan politik akan meninggalkan makna supremasi hukum itu sendiri. Dan inilah yang terjadi pada proses penanganan perkara pidana dugaan penyalahgunaan wewenang (suap, pemerasan) pimpinan KPK.

Proses penyidikan oleh Polri dianggap sebagai rivalitas kelembagaan, padahal kesemua ini memiliki intensitas masalah berbeda . Pengamat hukum (pidana dan nonpidana) dan politik pun memberikan warna argumen hukum yang justru tercipta opini dan stigma penegakan hukum, sehingga membuat kebingungan publik antara eforia dan phobia penegakan hukum menjadi rancu dan bias.

Kedua, terjadinya minimalisasi penghargaan prinsip legalitas. Seharusnya dipahami penegak dan pengamat hukum. Bila ada keraguan terhadap pembuktian dan kurangnya alat bukti, harus ada perasaan besar hati untuk menghentikan penyidikan/penuntutan sesuai prinsip praduga tak bersalah. Namun bila ada keyakinan keutuhan alat bukti harus berpegang prinsip speedy trial ke pengadilan agar tidak melanggar hak-hak asasi Bibit-Chandra. Proses kembali ulangnya berkas adalah parameter redusi terhadap prinsip legalitas hak asasi Bibit-Chandra.


Peradilan Jalanan

Ketiga, dengan berlindung di balik asas keadilan masyarakat, lembaga yudikatif, seperti MK maupun legislatif (DPR), pula ada Tim Pencari Fakta (Tim 8) berlomba-lomba mencari simpati masyarakat dengan menggelar proses penegakan hukum yang menjadi ranah yudikatif. Lebih ekstrem lagi, lembaga yudikatif (MK) maupun Tim 8, layaknya hakim keadilan, mengeluarkan pernyataan dan opini sebelum ada hasil akhir dari mekanisme due process of law. Para pengamat hukum seolah buta hukum dan pengamat politik seolah representasi dan jargon hukum, sehingga jadilah semacam prapenghakiman dengan pembentukan opini sepihak, berpihak dan negatif yang justru menimbulkan kesan obstruction of justice dari lembaga dan tim tersebut. Inilah yang dinamakan street justice (peradilan jalanan) yang tidak edukatif. Seharusnya court justice (peradilan di pengadilan) menjadi legalitas kita semua.

Kepentingan politik mewarnai penegakan hukum secara buruk, yang anehnya justru dilakukan oleh pejabat negara, pengamat hukum, politik dan sosial yang akibatnya menimbulkan kerancuan yang sangat bias bagi masyarakat, sehingga sulit menemukan diferensial antara pendapat dari pengamat serta pejabat yang profesional dan stigma provokator. Pembentukan opini terhadap suatu proses hukum yang berjalan tentunya menimbulkan pandangan hukum yang permisif, seolah KPK sebagai lembaga imunitas dari penegakan hukum dan jauh dari penyelewengan hukum, sebaliknya Polri sebagai lembaga yang lemah dalam penegakan hukum.

Proses yang wajar dari penyidikan seharusnya tidak dilakukan dengan intervensi, baik dalam bentuk pembangunan opini maupun tangan kekuasaan, yang langsung maupun tidak langsung, akan mempengaruhi proses hukum. Suatu usaha untuk mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan proses hukum merupakan sub judice rule yang dapat menggoyahkan prinsip penegakan hukum itu sendiri. Lembaga yudikatif, MK, memang atas dasar interest of justice dapat memerintahkan pembukaan rekaman.

Meskipun, menurut saya, isi substansi rekaman tidak berkaitan secara langsung dengan masalah pemberhentian tetap Bibit-Chandra yang dipandang inkonstitusional.

Pula, tidaklah pada tempatnya sosok personal MK memberikan pendapat hukum terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Hal serupa juga dilakukan oleh Tim 8 yang telah memberikan pendapat sebelum bekerja, saat bekerja, dan belum ada finalisasi dalam pemberian rekomendasi kepada Presiden. Presiden tidak memiliki kewenangan diberhentikan atau dilanjutkannya proses hukum yang sedang berjalan, termasuk kasus Bibit-Chandra.

Dari kajian sosio-yuridis, gangguan optimal independensi penegak hukum justru dari kalangan internal kekuasaan maupun pihak yang memiliki vested-interest terselubung. Bahkan gangguan, serangan dan intervensi terhadap institusi penegak hukum dikemas dalam bentuk independensi semu, seperti pembentukan tim independen yang justru menyiratkan adanya usaha yang secara tidak langsung mempengaruhi penegak hukum . Kesemua ini dinamakan sub judice rule, suatu usaha untuk mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan proses hukum, yang tentunya dapat menggoyahkan prinsip keadilan dan penegakan hukum itu sendiri.

Bila dicermati, proses penegakan hukum dalam kasus Bibit-Chandra ini telah dilakukan secara profesional oleh Polri, Kejaksaan dan KPK sebagai integrated institution, namun stigma pembentukan opini yang rancu inilah yang merusak sistem penegakan hukum dengan segala argumentasi yang selayaknya menjadi ranah peradilan. Tanpa kesabaran terhadap proses hukum, pengamat dan pejabat telah menciptakan politisasi hukum, sehingga ucapan Prof Dr Dimyati Hartono, makna politics are to be adopted by the laws, not laws to the politics hanyalah gerakan simbolik dari cadar reformasi hukum di Indonesia.

KPK, Polri, dan Kejaksaan bersatulah. Bangkitlah penegak hukum melawan provokator dan koruptor ! *


---------------

Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

AddThis Social Bookmark Button
Email this post


MI: Tim 8 Optimistis Presiden Perhatikan Rekomendasi Kasus Bibit dan Chandra  

Tim 8 Optimistis Presiden Perhatikan Rekomendasi Kasus Bibit dan Chandra

Senin, 16 2009 18:02 WIB 61 Dibaca | 0 Komentar

JAKARTA--MI: Anggota Tim Delapan Todung Mulya Lubis optimistis Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memperhatikan rekomendasi Tim Delapan karena kasus Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto adalah ujian bagi pemerintah.


"Saya tidak yakin bahwa Presiden tidak akan mempertimbangkan, karena kasus ini mendapat perhatian yang sangat luas di mata internasional dan ini tes buat pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini," kata Todung di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jakarta, Senin (16/11).


Oleh karena itu, katanya, meski rekomendasi Tim Delapan tidak bersifat mengikat, ia percaya Presiden Yudhoyono akan mempertimbangkan semua usulan Tim Delapan. Apabila pemerintah gagal menyelesaikan kasus Bibit dan Chandra, menurut Todung, seluruh gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia akan mengalami hambatan.


"Padahal pemberantasan korupsi itu adalah agenda pemerintahan SBY-Boediono. Jadi saya yakin Presiden akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan situasi yang begitu krisis semacam ini," tuturnya.


Sementara itu, anggota Tim Delapan lain, Anies Baswedan, mengatakan Tim Delapan menghargai prinsip-prinsip etis sehingga tidak bersedia membuka kepada publik isi rekomendasi sebelum diserahkan kepada Presiden selaku pemberi mandat.


Setelah itu, lanjutnya, Tim Delapan akan menentukan sikap atas diskresi yang dikeluarkan Presiden setelah menerima rekomendasi tim delapan. Ia juga mengatakan, Tim Delapan masih beranggapan positif bahwa rekomendasi mereka tidak akan diabaikan oleh Presiden. (Ant/OL-01)




---------------

Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


MI: Kebangkrutan Hukum  

Kebangkrutan Hukum

Senin, 16 2009 00:01 WIB 3782 Dibaca | 35 Komentar

PILIHAN bangsa ini untuk menjadi negara hukum bukan lahir dari sebuah angan-angan kosong. Negara hukum dipilih karena pengalaman getir sebagai negeri yang dijajah dan lebih dari tiga abad berada dalam lorong gelap ketidakadilan.


Bagi segenap anak bangsa ini, negara hukum lahir karena kerinduan yang amat sangat terhadap terwujudnya keadilan. Itu berarti hukum bukan sekadar alat untuk menciptakan ketertiban, melainkan yang lebih utama adalah untuk menegakkan keadilan.


Sayangnya, jalan menuju tegaknya keadilan melalui hukum di negeri ini kian jauh panggang dari api. Hukum bukan semata dipahami secara prosedural legalistik, melainkan sudah diperdagangkan secara murah-murahan, baik dalam pasar gelap maupun pasar terang. Pembelinya bukan hanya para makelar, melainkan juga mafioso.


Fakta munculnya rekaman antara Anggodo Widjojo dan para penegak hukum yang amat terang-benderang menyusun skenario mengkriminalkan Bibit-Chandra, dua pemimpin nonaktif KPK, adalah bukti hukum yang ditransaksikan itu.


Bukti itu kian kuat ketika mantan Kapolres Jakarta Selatan Wiliardi Wizard mengakui telah diperintah oleh pimpinannya untuk menandatangani berita acara pemeriksaan yang berisi skenario menjerat Antasari Azhar, mantan Ketua KPK.


Penelusuran Tim 8 terhadap dua kasus tersebut kian mengukuhkan pendapat publik bahwa hukum sedang menuju kebangkrutan di negeri ini. Sebuah kebangkrutan yang disebabkan oleh permainan lincah para cukong dan tunduk dan takluknya penegak hukum oleh uang.

Hukum di negeri ini memang hanya indah di dalam kitab undang-undang, tapi busuk dalam kenyataan. Puncak kebusukan hukum itu terjadi sekarang ini dengan diperdengarkannya rekaman telepon Anggodo di MK dan pengakuan Wiliardi Wizard di pengadilan.


Akibatnya, citra negeri ini memburuk di mata internasional. Sebuah kampanye yang jelek, amat jelek, yang bisa menghancurkan minat investor untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Sebab yang terjadi di negeri ini bukan hanya tak ada kepastian hukum, melainkan juga kehancuran hukum.


Di dalam negeri, berangsur-angsur kepercayaan publik terhadap Presiden pun kian tergerus karena sikapnya yang dinilai tidak tegas. Semakin berlarut-larut kebangkrutan hukum ini dibiarkan, semakin mahal pula harga yang harus kita bayar. Karena itu, berulang-ulang melalui forum ini kita menggarisbawahi agar Presiden segera bertindak membersihkan rumah penegak hukum dari sarang penyamun.


Dengan kekuatan dan legitimasi yang dimilikinya, ditambah amunisi rekomendasi Tim 8, Presiden harus melakukan penyelamatan agar kebangkrutan hukum segera teratasi.


---------------

Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


Kompas: :Coba Urai Kasus Century, DPR Gantungkan Harapan pada Hak Angket Century  

Coba Urai Kasus Century, DPR Gantungkan Harapan pada Hak Angket Century
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie (kiri) menerima dokumen berisi tanda tangan 139 anggota DPR yang mengajukan usulan hak angket atas pengusutan kasus Bank Century, Kamis (12/11). Marzuki sendiri menolak menandatangani dokumen hak angket itu.
Senin, 16 November 2009 | 17:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — DPR menggantungkan harapannya pada hak angket Century (kini Bank Mutiara) untuk mengurai kasus yang menyedot uang negara sebesar Rp 6,7 triliun itu. Pasalnya, audit investigatif aliran dana kepada Bank Century oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dipastikan stagnan.

"Hasil audit dari BPK hanya akan sampai situ karena belum ada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)-nya," ujar Ketua Komisi XI DPR RI Emir Moeis di Gedung DPR, Senin (16/11).

Menurut Emir, hasil audit yang dilakukan BPK tidak akan sempurna karena tidak ada laporan dan data-data terkait aliran dana Bank Century dari PPATK. Diharapkan, dengan hak angket Century ini, DPR dapat memanggil PPATK dan melengkapi audit BPK.

"Jadi, DPR mengajukan hak angket untuk melengkapi saja. Sebab, instansi-instansi yang tidak bisa dipanggil oleh BPK bisa ditanggulangi dengan pemanggilan melalui hak angket," ujarnya.

Menurut Emir, laporan PPATK yang diterima anggota dewan seusai pengesahan hak angket selanjutnya akan diserahkan kepada BPK untuk diaudit. "Kami bukan akuntan, bukan auditor sehingga data dari PPATK akan kita serahkan ke BPK," ujar Ketua Komisi XI DPR RI yang juga anggota Fraksi PDI-P ini.

Sebelumnya, sejumlah anggota DPR berniat untuk mengajukan usul hak angket Century secara resmi ke Rapat Paripurna DPR. Setidaknya, sudah ada enam fraksi partai politik yang ikut bergabung, yakni F-PDIP, Hanura, Partai Golkar, PPP, PKB, dan Gerindra. Namun, hingga kini hak angket ini belum juga masuk ke Badan Musyawarah (Bamus). Padahal, sebelumnya sejumlah anggota dewan berencana untuk membawa hak angket Century ke Bamus pekan lalu.

"Dari rapat paripurna, kalau disetujui, akan dibentuk panitia angketnya," tandasnya.


ANI

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2009/11/16/17225340/Coba.Urai.Kasus.Century..DPR.Gantungkan.Harapan.pada.Hak.Angket.Century

 
---------------
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

Allah yang disembah orang Islam tipikal dan yang digambarkan oleh al-Mushaf itu dungu, buas, kejam, keji, ganas, zalim lagi biadab hanyalah Allah fiktif.


AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


BBC: US demands Afghan 'bribery court'  

Di Afghanistan juga..

US demands Afghan 'bribery court'

The Afghan president must set up a "major crimes tribunal" and an anti-corruption commission, US Secretary of State Hillary Clinton says.

She told ABC television that Hamid Karzai "can do better".

The Afghan leader - recently re-elected in a poll marred by fraud allegations - has come under growing Western pressure to deal with corruption.

One of Mr Karzai's spokesmen insisted the Afghan leader's administration was "serious" about tackling corruption.

The American ambassador in Kabul has warned against a US troop surge unless Mr Karzai takes action against corruption.

" Now we believe that President Karzai and his government can do better "
Hillary Clinton US Secretary of State

His views are at odds with US generals recommending a major troop deployment.

Afghanistan's chief prosecutor has said he has a list of senior officials and ministers suspected of taking bribes, but refused to publish their names.

Chief prosecutor Ishaq Aluko told the BBC last week that he had asked the president and Supreme Court to set up a special court to deal with the cases.

The presidential election in August was tainted with accusations of fraud and vote-rigging. Mr Karzai's main rival pulled out of a run-off vote.

No aid

Mrs Clinton, in an interview on ABC, said Washington expects "a major crimes tribunal" to be set up and "an anti-corruption commission established and functioning".

She said the Afghan government needed to take action against people who have "taken advantage of the money that has poured into Afghanistan" in the past eight years.

She said she had made it clear that civilian aid would not be given unless the US could track it if it went to government ministries.

Mrs Clinton said the goal of the US was to defeat al-Qaeda, and help Afghans defend themselves against the Taliban.

"Now we believe that President Karzai and his government can do better," she said.

People's needs

"We've delivered that message. Now that the election is finally over, we're looking to see tangible evidence that the government, led by the president but going all the way down to the local level, will be more responsive to the needs of the people."

Corruption in Afghanistan - which is the world's largest producer of opium - is linked mainly to illegal drugs, according to the United Nations Office on Drugs and Crime.

It has also said the unprecedentedly large amount of international assistance, and pressure to spend resources quickly, also contribute to corruption.

Afghanistan is regularly listed as among the worst five countries - out of 180 - for corruption by watchdog groups.

Print Sponsor

Advertisement
 
---------------
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

Allah yang disembah orang Islam tipikal dan yang digambarkan oleh al-Mushaf itu dungu, buas, kejam, keji, ganas, zalim lagi biadab hanyalah Allah fiktif.


AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


MI: Ketua MA: Presiden Harus Pertimbangkan Putusan Tim 8  

Minggu, 15 November 2009

Ketua MA
Presiden Harus Pertimbangkan Putusan Tim 8
Minggu, 15 2009 21:33 WIB      224 Dibaca  |  0 Komentar
JAKARTA-MI: Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempertimbangkan secara sungguh-sungguh rekomendasi Tim 8 Kasus Bibit-Chandra.

"Presiden harus mempertimbangkan rekomendasi Tim 8. Kalau itu tidak dilakukan, maka buat apa Tim 8 dibentuk," jelas Mahfud, di Jakarta, Minggu (15/11).

Presiden membentuk Tim 8 untuk meredam ketegangan yang terjadi masyarakat terkait penahanan Bibit-Chandra. Tim 8 dibentuk untuk mencari fakta dan merekomendasikan tindakan apa yang harus dilakukan.

Mahfud menilai rekomendasi yang diberikan Tim 8 berisikan alternatif hukum yang dapat dipilih. Atas rekomendasi itu, Presiden akan mengambil jalan keluar atas kemelut KPK-Polri. Menurut Mahfud, keputusan Presiden yang berdasarkan rekomendasi Tim 8 masih tetap berada dalam koridor hukum.

"Putusan Presiden itu nantinya kelanjutan dari rekomendasi Tim 8. Artinya, tetap berada di jalur hukum. Jadi, janganlah sampai dibelokkan ke jalur politik," tegas Mahfud.

Mahfud berharap keputusan Presiden atas kasus Bibit-Chandra dapat menjadi jalan keluar terbaik. "Artinya, sekalipun tetap berada di jalur hukum, keputusan itu tidak mengakibatkan salah satu pihak kehilangan muka," paparnya.
Karena itu, Mahfud pun berharap agar publik tetap menghormati putusan Presiden. Harapan itu pun ia tujukan kepada Tim 8.
"Setelah rekomendasi diberikan, Tim 8 tidak boleh berbuat apa pun lagi," tegas Mahfud.

Mahfud mengharapkan rekomendasi Tim 8 lebih mengutamakan penyelesaian kasus Bibit-Chandra. "Ini merupakan kasus konkrit yang harus segera ditangani," ungkap Mahfud. Setelah itu, barulah pemerintah melakukan reformasi institusi kepolisian dan kejaksaan. (Dvd/OL-7)
 
---------------
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

Allah yang disembah orang Islam tipikal dan yang digambarkan oleh al-Mushaf itu dungu, buas, kejam, keji, ganas, zalim lagi biadab hanyalah Allah fiktif.


AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


Kasus Kriminalisasi KPK Demonstrasi Tandingan Picu Konflik Horizontal  

Kasus Kriminalisasi KPK
Demonstrasi Tandingan Picu Konflik Horizontal
Minggu, 15 2009 22:37 WIB      116 Dibaca  |  0 Komentar
JAKARTA-MI: Demonstrasi tandingan mendukung Kepolisian, Kejaksaan dan Pemerintah yang belakangan marak, berpotensi besar menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.


Karena itu, Presiden SBY harus cepat mengambil keputusan setelah Tim Delapan menyerahkan laporan dan rekomendasi lengkap.


"Keadaan ini adalah kesalahan pemerintah, kenapa membiarkan terlalu lama, sehingga orang sampai tidak percaya kepada proses hukum. Kalau tidak cepat ditindaklanjuti, maka akan terjadi proses pembusukan," ujar tokoh nasional Syafi'i Maarif, di Jakarta, Minggu (15/11).


Ia mengaku tidak yakin, jika demonstrasi mendukung Kepolisian dan Kejaksaan ialah aksi atas dasar inisiatif murni dari masyarakat. Karena gerakan ini tidak serentak dan meluas seperti dukungan terhadap KPK. "Ini demo kepentingan, karena dua institusi (Kepolisian dan Kejaksaan) telah kehilangan muka. Kelompok yang murni harus menunjukkan sikap lebih dewasa, jangan terpancing emosi, apalagi menunjukkan demo yang brutal," tuturnya.


Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menambahkan, tidak semua polisi buruk, karena itu para polisi yang baik harus menyadarkan dan mengembalikan wibawa kepolisian.


Dalam kesempatan terpisah, pengamat politik UI Maswadi Rauf berpendapat, aksi unjukrasa yang terjadi disebabkan lambatnya Presiden membuat keputusan. Kejadian ini, sambungnya, berpotensi ke tahap konflik massa. Ia mengingatkan Presiden untuk segera membuat keputusan dalam satu atau dua hari mendatang. Presiden, kata dia, harus membuktikan bahwa tidak bersikap ragu-ragu.


"Kalau tidak maka konflik semakin tajam, pertentangan makin melebar. Ini bisa menimbulkan keresahan di masyarakat," ujarnya mengingatkan.


Sedangkan aksi unjukrasa tandingan yang terjadi, menurut dia, tidak semurni demonstrasi dukungan kepada KPK. "Itu bisa dilihat dari jumlah massa, frekuensi, sebaran, dan variasi orang-orang yang ikut demo itu," ujarnya.


Demonstrasi tandingan, kata dia, karena Kepolisian dan Kejaksaan tidak mau tinggal diam atas gelombang protes masyarakat yang menyalahkan dua lembaga tersebut. "Mereka bisa mengerahkan massa, banyak orang-orang yang mau untuk itu," tukasnya. (NJ/OL-7)

---------------
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


Republika: Buyung : Kalau Mau Tuntas, harus Ada Sanksi  


Logo_print

Nasional » Berita

Buyung : Kalau Mau Tuntas, harus Ada Sanksi

By Republika Contributor
Minggu, 15 November 2009 pukul 17:48:00
Buyung : Kalau Mau Tuntas, harus Ada Sanksi
JAKARTA - Ketua Tim Delapan, Adnan Buyung Nasution, mengatakan, harus ada ketegasan dari pemerintah untuk memberikan sanksi bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran dan terkait dalam kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Pemberian sanksi tersebut akan menuntaskan persoalan yang ditengarai menjadi proses kriminalisasi dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kalau tidak, bagaimana rasa keadilan masyarakat. Saya kira memang mesti ada penegasan. Kalau tidak masyarakat akan bertanya-tanya kenapa tidak ada sanksinya," kata dia, di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden, Jakarta, Ahad (15/11). Buyung menyatakan, selain untuk menuntaskan persoalan, sanksi tersebut juga untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Saat ini, Tim tengah menggelar rapat finalisasi untuk menyusun rekomendasi akhir hasil verifikasi fakta hukum kasus Bibit dan Chandra. Tim memastikan rekomendasi tersebut akan siap diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Senin (16/11).
Tim delapan menerima mandat dari Presiden pada Senin (2/11) dan bekerja hingga Senin (16/11). Tim itu terdiri dari, Buyung selaku Ketua, Koesparmono Irsan sebagai Wakil Ketua, dan Sekretaris, Denny Indrayana. Tim beranggotakan Todung Mulya Lubis, Amir Syamsuddin, Komaruddin Hidayat, Anies Baswedan, serta Hikmahanto Juwana.
Selama dua pekan bekerja, tim tersebut telah memanggil berbagai pihak terkait kasus hukum Chandra dan Bibit untuk dimintai keterangan. Yaitu, Kepala Polri, Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri, dan jajarannya di Bareskrim; Jaksa Agung, Hendarman Supandji, dan jajaran di bidang pidana khusus; pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Bibit-Chandra beserta kuasa hukumnya.
Serta, Anggodo Widjojo, adik Anggoro Widjojo yang merupakan buronan KPK dalam kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan; Ary Muladi, tersangka penipuan PT Masaro Radiocom; Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, dan kuasa hukumnya; Edy Soemarsono, saksi pertemuan Antasari dengan Anggoro di Singapura.
Tim juga sudah memanggil orang-orang yang disebut dalam rekaman Anggodo dengan beberapa pihak. Yaitu, mantan Jaksa Agung Muda Intelejen Kejaksaan Agung, Whisnu Subroto; Wakil Jaksa Agung, Abdul Hakim Ritonga; dan Kepala Bareskrim, Komjen Pol Susno Duadji.
Tim juga sudah meminta keterangan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korbana (LPSK) dan tim penyidik Polda Metro Jaya yang menerima laporan Antasari tentang adanya penyuapan ke pimpinan lembaga antikorupsi tersebut. Jumat (13/11), Tim juga kembali meminta keterangan dari Chandra.
Pada pekan lalu, Tim juga sudah melakukan gelar perkara dengan tim penyidik Direktorat III Bareskrim dan tim jaksa peneliti pada Pidana Khusus Kejaksaan. Hasilnya, tim menyampaikan tiga hal terkait kasus ini. Yaitu, Pertama, fakta dan proses hukum yang dimiliki penyidik Polri tidak cukup untuk dilanjutkan proses hukum tindak pidana pemerasan atau suap terhadap Bibit dan Chandra.
Kedua, andaikata ada, Polri hanya memiliki bukti penyerahan uang dari Anggodo Widjojo ke Ary Muladi. Sementara, penyerahan selanjutnya dari Ary ke Yulianto atau langsung ke pimpinan KPK ternyata tidak dapat dibuktikan. Ketiga, andaikata dipaksakan untuk dilanjutkan ke pengadilan, pasal penyalahgunaan wewenang lemah karena merupakan pasal karet. Selain itu, tindakan pencekalan yang dilakukan Bibit dan Chandra sudah lazim sejak KPK periode sebelumnya. ratna puspita/pur


---------------
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


Pentas Wajah tidak Bersalah  

Minggu, 08 November 2009

HEBOH kasus Bibit dan Chandra, yang oleh publik dianggap pantas disebut sebagai skandal, sedang mengganggu pikiran, nurani, dan akal sehat. Apa yang berkecamuk dalam pikiran publik tentang keadilan, kebenaran, dan nurani, bertolak belakang dengan apa yang dengan gigih dipertontonkan oleh konstruksi berpikir hukum para pejabat negara.


Publik yang bagian terbesar adalah khalayak yang tidak mengerti hukum, tetapi memiliki nurani, menganggap kepolisian dan kejaksaan sebagai pihak yang bersalah. Tuduhan itu semakin meyakinkan ketika rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat tinggi kejaksaan dan kepolisian diperdengarkan secara terbuka di Mahkamah Konstitusi.

Proses kebenaran formal yang dicari sampai hari ini buntu, sementara publik semakin tidak percaya pada lembaga penegak hukum, khususnya kepada kejaksaan dan kepolisian.

Karena proses pengadilan terhadap Bibit dan Chandra, dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinonaktifkan, berjalan amat lamban, maka yang terjadi adalah pengadilan oleh dan di depan publik. Bibit, Chandra, Kapolri, Susno Duadji, Jaksa Agung, dan Anggodo berlomba-lomba memberi tahu publik bahwa mereka tidak bersalah. Yang paling kentara melakukan safari untuk memenangkan kebenarannya adalah kepolisian.

Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri bersafari ke forum pemimpin redaksi media massa, lalu ke Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan Tim 8, tim yang dibentuk untuk mencari kebenaran skandal ini, juga dimanfaatkan untuk mengukuhkan kebenaran.

Dari tiga titik safari kebenaran itu, baru Komisi III DPR yang kelihatan memuji kepolisian. Karena, tentu, inilah lembaga yang mendewakan konstruksi berpikir prosedural.

Kapolri gagal memperoleh dukungan di media massa dan Tim 8, apalagi publik. Istilah cecak dan buaya yang diminta agar tidak lagi digunakan, malah kian gencar dipakai dengan beragam ejekan yang menggelikan.

Ketika berbicara tentang kredibilitas publik, polisi, dan DPR tidak bisa hanya bertopang pada konstruksi berpikir legalistik formal. Tidak ada wajah yang menyesal karena tidak memperoleh dukungan publik. Atau karena tidak mampu berpikir dan bertindak searah dengan nurani, jiwa, dan akal sehat publik.

Berbicara buka-bukaan di DPR yang dilakukan Kapolri malah menuai ketidakpercayaan baru kepada kepolisian. Karena semua orang yang disebut dalam pertemuan itu membantah. Yang percaya dan bertepuk tangan hanya anggota DPR, khususnya Komisi III.

Jadi, skandal yang amat menyakiti hati publik ini janganlah dipersempit seakan hanya perseteruan polisi, KPK, dan kejaksaan. Kalau kepolisian dan kejaksaan, termasuk DPR, tidak memperoleh kepercayaan publik, itu karena kegagalan mereka memberantas korupsi.

Publik merasa dan menyaksikan korupsi yang menjadi-jadi, tetapi kepada mereka dipertontonkan wajah-wajah yang tidak bersalah. Polisi yang tidak bersalah, DPR yang tidak bersalah, kejaksaan yang tidak bersalah. Ini justru kesalahan amat fatal dari eksistensi kita bernegara.
 
---------------
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


Tim Mabes Polri Cari Yulianto ke Surabaya  

Tim Mabes Polri Cari Yulianto ke Surabaya

Surabaya, 7 November 2009 16:56
Tim Mabes Polri dikirimkan ke Surabaya guna mencari Yulianto dan Latif, yang disebut-sebut Ary Muladi --saksi dalam kasus rekaman KPK-Polri.

"Kasus itu ditangani Polri, karena itu tim Mabes Polri yang turun ke Surabaya, kami hanya membantu," kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Pudji Astuti di Surabaya, Sabtu (7/11).

Ia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan keterangan Ary Muladi di hadapan tim delapan di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jakarta (7/11).

"Kami sendiri tidak tahu informasi soal itu, sebaiknya tanyakan Mabes Polri saja," kata Pudji Astuti, tanpa menyebut waktu tim Mabes Polri turun ke Surabaya.

Dalam keterangannya di depan tim delapan itu, Ary Muladi mengaku, tidak mengenal dan tidak menyerahkan uang dari Anggodo secara langsung kepada Deputi Penindakan KPK, Ade Raharja.

"Ada rayuan berkali-kali (dari penyidik Direktorat III Mabes Polri), jadi kalau saya kembali ke BAP pertama (menyerahkan uang secara langsung ke Ade Rahardja), saya akan dibebaskan," katanya.

Menurut Ary, uang sebesar Rp5,1 miliar dari Anggodo Widjojo diserahkan kepada Yulianto yang dikenalnya di Surabaya (alamatnya Dharmahusada Indah, Surabaya).

"Sosok Yulianto itu benar-benar ada, dia bertubuh atletis dengan alis mata lurus agak naik ke atas," katanya, seraya membantah bila menyerahkan uang langsung ke Ade Rahardja. [TMA, Ant]

URL: http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=131902

AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


Ary Muladi: Tekanan Juga dari Penyidik  

By Republika Newsroom
Sabtu, 07 November 2009 pukul 18:50:00

JAKARTA--Ary Muladi, saksi kunci kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, mendapat tekanan untuk kembali pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) 15 Juli 2009 yang menyebutkan adanya aliran dana dari Anggodo Widjojo ke para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Deputi Penindakan KPK, Ade Rahardja. T

ekanan tidak hanya dari Anggodo, namun juga dari penyidik-penyidik Direktorat III Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. "Kalau ancaman tidak ada, rayuan banyak. Rayuannya agar saya kembali ke BAP pertama. Selain Anggodo, penyidik juga begitu," kata Ary seusai memberikan verifikasi kepada Tim 8 di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden, Jakarta, Sabtu (7/11).

Kuasa hukum Ary, Sugeng Teguh Santoso, mengatakan, penyidik menyatakan apabila tidak kembali ke keterangan pertama, maka Ary dapat dikenakan pasal baru. Padahal, lanjut dia, Ary sudah status tersangka dan ditahan untuk tuduhan penggelapan dan penipuan.

Namun, Sugeng melanjutkan, Ary tidak bisa menyebut nama. "Yang periksa institusi penyidik. Tapi, tidak bisa disebut namanaya karena mungkin dia adalah orang yang baik. Tapi, ditugaskan oleh atasannya," terang dia.

Selain tekanan agar kembali ke BAP pertama, Ary menuturkan, tekanan juga datang ke keluarganya dan baru berakhir sejak lima hari terakhir. Sebelumnya, dia menuturkan setiap anak dan istrinya pergi selalu ada yang membuntutinya.

"Dan, keluarga saya mengatakan setiap beberapa hari sekali ada orang yang mengaku dari Polsek Bintaro bertanya ke orang-orang sekitar rumah saya. Itu saya anggap ancaman juga," kata dia.

Sugeng mengatakan, pihaknya sudah meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Konsumen (LPSK) pada Rabu (4/11). "Mereka baru akan rapat untuk memberikan penilaian terhadap permohonan tersebut pada Senin atau Selasa pekan depan," kata dia. nap/kpo

---------------
Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo

AddThis Social Bookmark Button
Comments

Email this post


Contact me, martant21