Gonjang-Ganjing Byar-Pet PLN
Selasa, 24 Juni 2008
Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi J. Purwono Blak-blakan soal Byarpet PLN
Dalam beberapa pekan terakhir, pemadaman listrik bergilir alias byarpet melanda hampir seluruh Indonesia, termasuk wilayah Jawa-Madura- Bali. Puluhan juta pengguna listrik pun meradang. Apa yang sedang terjadi dengan PLN? Berikut petikan wawancara wartawan Jawa Pos Ahmad Baidhowi dengan Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen ESDM J. Purwono di ruang kerjanya Jumat lalu (20/6).
------------ --
Bagaimana anatomi sektor kelistrikan nasional saat ini?
Bicara anatomi sektor listrik, kita harus melihat dari kacamata supply and demand (pasokan dan kebutuhan, Red). Menurut saya, kondisi saat ini sangat dinamis. Artinya, pasokan listrik untuk sebuah wilayah saat ini dalam keadaan lebih dari cukup. Tapi, bisa saja dalam waktu beberapa bulan kemudian, wilayah tersebut kekurangan cadangan atau malah bisa krisis.
Apa penyebabnya?
Ini karena dua hal. Pertama, diakui atau tidak, perekonomian Indonesia tumbuh cukup pesat. Hal ini menyebabkan konsumsi listrik naik, baik itu konsumsi pelanggan industri, bisnis, maupun rumah tangga. Karena itu, dengan kapasitas listrik nasional yang saat ini sebesar 29.705 megawatt (MW) di mana 22.302 MW di antaranya di Jawa-Madura- Bali, kenaikan konsumsi tidak bisa ter-cover dengan baik.
Kedua, pertumbuhan demand yang cukup pesat hingga 6 sampai 7 persen per tahun itu tidak diimbangi dengan penambahan suplai. Akibatnya, untuk menyeimbangkan supply and demand, PLN perlu melakukan manajemen beban dengan pemadaman bergilir.
Bagaimana dengan kondisi pembangkit PLN yang rata-rata sudah tua?
Nah, itu juga menjadi penyebab. Misalnya, Muara Karang dan Suralaya, yang usianya sudah lebih dari 20 tahun. Kondisi ini diakui memang cukup rawan. Sebab, usia tua membuat keandalan pembangkit menjadi rentan. Akibatnya, ketika terjadi kerusakan pada pembangkit besar, pasokan listrik ke sistem jaringan bisa anjlok. Kalau sudah begitu, ya terpaksa dilakukan pemadaman bergilir.
Mengapa kondisi itu tidak diperhitungkan sebelumnya?
Kami akui, antisipasi kami untuk menambah pasokan listrik memang agak terlambat. Misalnya, untuk membangun pembangkit skala besar, minimal butuh waktu tiga tahun untuk proses konstruksi. Untuk pembangkit skala menengah dengan gas, minimal butuh waktu dua tahun. Sedangkan pembangkit skala kecil dengan diesel, minimal butuh waktu satu tahun. Sayang, sejak krisis ekonomi melanda pada 1998, pembangunan pembangkit skala besar maupun menengah hampir terhenti. Tercatat, mulai 1998 hingga saat ini hanya ada tambahan pasokan 2.000-3.000 megawatt (MW), padahal konsumsi listrik tumbuh 7 persen per tahun.
Lalu, apa yang sudah dan akan dilakukan pemerintah?
Kami berupaya melakukan lompatan penambahan kapasitas pasokan listrik melalui crash program PLTU 10.000 MW berbahan bakar batu bara. Proyek ini sudah dimulai pada 2006. Nanti, 6.900 MW di antaranya akan memasok sistem Jawa-Madura- Bali. Jika proyek itu tuntas, paling tidak kebutuhan listrik mulai 2009 hingga 2012 relatif akan aman.
Bagaimana setelah 2012, apakah krisis listrik kembali mengancam?
Jika hanya mengandalkan PLTU 10.000 MW batu bara itu saja memang akan kurang. Nah, pemerintah tidak ingin kecolongan lagi. Karena itu, bulan kemarin Pak Menteri ESDM (Purnomo Yusgiantoro, Red) sudah mencanangkan program PLTU 10.000 MW tahap kedua mulai 2011. Nanti, 3.000 MW di antaranya menggunakan batu bara, sedangkan 7.000 NMW lainnya memanfaatkan renewable energy (energi terbarukan) seperti pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga bayu atau angin (PLTB), serta pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) berbahan bakar biodiesel.
Terkait pasokan listrik, kapan pasokan dari crash program PLTU 10.000 MW tahap pertama akan masuk?
Maret 2009, unit I PLTU Labuhan berkapasitas 300 MW akan mulai beroperasi untuk memasok sistem Jawa-Madura- Bali. Sebenarnya, target semula adalah Juni 2009, tapi akan kami genjot pengerjaannya supaya bisa selesai pada Maret 2009. Sedangkan PLTU Labuhan unit II berkapasitas 300 MW, akan masuk sekitar tiga atau enam bulan sesudahnya.
Jadi, tambahan pasokan baru akan terealisasi pada Maret 2009. Padahal, saat ini sebagian daerah sudah kritis. Lalu, apa yang bisa dilakukan agar tidak makin parah?
Jawabannya hanya satu...penghematan. Itu satu-satunya jalan.
Bagaimana konkretnya?
Kami sudah meminta PLN agar terus melakukan sosialisasi gerakan hemat listrik. Selain itu, pemerintah juga sudah berkomitmen untuk memberikan contoh. Karena itulah, presiden sudah membentuk Tim Nasional Penghematan BBM, Listrik, dan Air yang dikoordinasi menteri ESDM dan pelaksana harian Pak Eddie Widiono (mantan Dirut PT PLN, Red).
Nanti, 1 Juli, pilot project program hemat listrik akan dicanangkan Pak Presiden atau Pak Menteri ESDM. Pelopornya adalah semua gedung pemerintahan di sekitar Monas, termasuk Kantor Gubernur DKI serta kantor-kantor BUMN. Selanjutnya, nanti program tersebut akan diperluas ke wilayah lain, termasuk gedung-gedung swasta.
Bagaimana dengan program tarif nonsubsidi, apakah itu juga menjadi alat untuk program penghematan?
Tepat sekali. Itu salah satu kebijakan yang menurut saya paling efektif untuk menanamkan budaya hemat listrik di masyarakat. Intinya, kalau you boros, maka keborosan itu tidak lagi disubsidi. Tapi kalau you berhemat, you tetap dapat subsidi.
Misalnya, untuk pelanggan rumah mewah 6.600 VA yang konsumsi listriknya selama satu bulan melebihi 839 Kwh, maka kelebihan pemakaian tersebut akan dihitung dengan tarif nonsubsidi sebesar Rp 1.380 per Kwh, sedangkan pemakaian hingga 839 Kwh akan tetap dihitung dengan tarif subsidi seperti saat ini, yaitu Rp 560 per Kwh.
Jadi, ini sekaligus sebagai sarana edukasi bagi masyarakat supaya berhemat.
Apa ada rencana ekstensifikasi program tarif nonsubsidi untuk pelanggan di bawah 6.600 VA?
Saat ini belum. Sebab, kami sedang meminta laporan PLN untuk melihat efektivitas pelaksanaan program pada pelanggan 6.600 VA ke atas. Kami ingin lihat dulu, apakah mereka menerapkannya secara benar di masyarakat. Jangan sampai kemudian tagihan pelanggan naik gila-gilaan. Jadi, kita kaji dulu, termasuk apakah ada gejolak di masyarakat. Setelah kajian komplet, baru kita akan mengkaji lagi, apakah perlu diterapkan pada pelanggan yang lebih rendah. Tapi harap dicatat, program tarif nonsubsidi tidak akan menyentuh pelanggan-pelanggan kecil. (kum)
Sumber: jawapos Online