ss_blog_claim=6853e64dae9fcd8425790b711998bf08

Amazing Fire Illusion

Dosa Besar Pemilu 2009  

Selasa, 14 April 2009

Saya tidak tahu jumlah mereka. Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun mereka kehilangan hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap.

Sebagian dari mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi aturan melarang mereka menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik mereka. Mereka terabaikan. Ditengah sukacita para calon pemenang dan kesibukan partai-partai menyusun koalisi menuju pemilu presiden, Juli mendatang, tempat mereka makin tergeser dari berita pokok media masa.

Empat Salah Kaprah
Pencederaan hak-hak para pemilih itu adalah dosa besar Pemilu 2009 yang tak sekedar layak diratapi. Celakanya, sejumlah salah kaprah kita temukan dalam perbincangan tentang kisruh DPT.

Pertama, kisruh DPT lebih banyak dipahami sebagai bencana administrasi.
Ini jelas salah besar! Kisruh ini bukanlah bencana administrasi, melainkan pelecehan atas hak politik rakyat!
Mereka memahaminya sebagai sekedar perkara administratif tak paham bahwa bagian terpenting dalam setiap pemilu demokratis adalah terpenuhinya hak-hak politik para pemilih. Tanpa ini pemilu cedera berat.
Adalah salah besar menjadikan hal ihwal administratif (tak tercatat dalam DPT) sebagai alasan untuk membunuh hak pilih seseorang. Semestinya administrasi harus tunduk, tersubordinasi, dibuat lentur, menyesuaikan diri untuk memenuhi hak-hak pemilih. Setiap orang yang punya bukti sah kependudukan semestinya beroleh kesempatan menunaikan hak pilihnya.

Kedua, kisruh DPT dipahami sebagai muasal persoalan.
Sejatinya kisruh ini adalah konsekuensi logis dari kekacauan administrasi kependudukan kita. Itu bukanlah sebab, melainkan akibat.
Tak satupun dari emapat presiden pada era rformasi yang berhasil menata administrasi kependudukan secara layak. Alhasil, tiga pemilu legislatif (1999, 2004, 2009), satu pemilu presiden (2004), dan lebih dari 450 pemilihan kepala daerah selama satu dasawarsa terakhir dicederai rendahnya kredibilitas data pemilih. Dicederainya hak pilih ratusan ribu -bhakan jutaan- calon pemilih dalam pemilu pada 9 April lalu adalah puncak dari kisruh permanen berulang-ulang itu.
Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk. Nyatanya dalam perkara ini kita tak beranjak maju.

Ketiga, kisruh DPT dipahami sebagai buah kekeliruan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Tentu saja KPU punya andil memfasilitasi tak terkelolanya kisruh itu. Namun KPU bukan biang keladi sendirian. Mentri Dalam Negri (yang membawahkan otoritas pendataan dan administrasi kependudukan) dan Presiden (sebagai penanggung jawab tertinggi pengelolaan administrasi pemerintahan) adalah pihak-pihak yang selayaknya ikut bertanggung jawab.
Maka saya sungguh menyesalkan bahwa sampai dengan saat ini belum terdengar sepotong pun permohonan maaf dari KPU, Mendagri, maupun Presiden kepada setiap orang yang hak-hak politiknya dilucuti. KPU terkesan lebih senang membela diri, Mendagri alpa bahwa ia ikut bertanggungjawab, dan Presiden lebih sibuk menyiapkan jalan terlapang menuju termin kedua pemerintahannya.

Keempat, banyak partai politik berasumsi bahwa kisruh DPT menyebabkan mereka kalah.
Padahal sungguh sulit mengaitkan serta merta kisruh itu dengan perolehan suara setiap partai. Tak ada satu teoripun yang bisa membuktikan bahwa kisruh ini menguntungkan secara konsisten partai tertentu dan merugikan partai lain. Kisruh ini pun akhirnya hanya sekedar topeng pemanis untuk menyembunyikan ketidaksiapan sebagai partai untuk kalah.

Dua Perkembangan
Dari balik kisruh DPT, mencuat dua kemungkinan perkembangan perlawanan warga negara atau kemarahan partai-partai.

Para calon pemilih yang hak politiknya dicederai punya alasan kuat untuk melakukan aksi kolektif menuntut pertanggung-jawaban para pejabat publik terkait. Mereka berhak memperkarakan pelecehan hak-hak politik mereka melalui jalur hukum secara elegan, tanpa kekerasan, dengan melintasi sekat partai atau pilihan politik. Demokrasi harus memberikan jalan lapang bagi perlawanan semacam ini.

Tetapi kita layak cemas. Yang lebih mengemuka justru kemarahan partai-partai. Kisruh DPT boleh jadi hanya dijadikan instrumen politik oleh partai-partai untuk memperkarakan hasil pemilu. Menolak hasil pemilu tentu boleh-boleh saja, tetapi adalah kanak-kanak menjadikan kisruh DPT sebagai alasan pembenar sebuah kemarahanmembabi buta. Adalah tidak bertanggung-jawab menyamarkan ketidak siapan kalah dibalik isu pelecehan hak-hak politik rakyat.

Memanjakan kemarahan partai-partai sambil keluar dari konteks persoalan sesungguhnya hanya akan memperbesar dosa kita dalam Pemilu 2009. Padahal alih-alih menambah dosa, semestinya saatnya sekarang kita bertobat, yakni dengan segera membenahi data kependudukan untuk pemilu presiden besok.


Eep Saefulloh Fatah
Pemerhati Politik dari Universitas Indonesia
(Sumber: Kompas, Selasa, 14 April 2009)

AddThis Social Bookmark Button
Email this post


Contact me, martant21